mimpi ketinggalan bis

wayang 88 - Review Film: 24 Jam Bersama Gaspar

2024-10-09 00:22:23

wayang 88,togel188 online,wayang 88Jakarta, CNN Indonesia--

24 Jam Bersama Gaspar memang memiliki visual menawan, scoringjempolan, dan dibintangi aktor elite. Namun, film itu gagal memberikan kepuasan imbas absennya kepingan terpenting: penulisan cerita yang berkelas.

Saya sesungguhnya menaruh ekspektasi cukup tinggi terhadap 24 Jam Bersama Gaspar. Film adaptasi novel itu digarap Yosep Anggi Noen, sosok di balik Istirahatlah Kata-kata (2015) hingga The Science of Fictions (2019).

Lihat Juga :
Sinopsis 24 Jam Bersama Gaspar, Misi Balas Dendam di Akhir Sisa Hidup

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Eksekusi sang sutradara untuk elemen visual itu layak diacungi jempol. Seingat saya, tak banyak sutradara Indonesia yang percaya diri untuk membangun latar distopia semacam ini.

Anggi Noen bermain-main dengan imajinasinya tentang potret kacau balau Indonesia andai zaman pasca-apokalips itu tiba. Ia mencoba menunjukkan situasi masyarakat yang runtuh dengan kekacauan di mana-mana.

Film 24 Jam Bersama Gaspar. (KawanKawan Media/Visinema Pictures)Review 24 Jam Bersama Gaspar: Meski punya visual menawan, film ini gagal memberikan kepuasan imbas absennya penulisan cerita yang berkelas. (KawanKawan Media/Visinema Pictures)

Dunia distopia di mata Anggi Noen juga tak luput dengan penggambaran pemerintah yang berubah menjadi tirani dan memantau setiap langkah masyarakatnya.

Pilihan Redaksi
  • Review Film: The Holdovers
  • Review Film: Dune - Part Two
  • Review Film: The Zone of Interest
  • Review Film: Exhuma

Visualisasi tempat Gaspar (Reza Rahadian) tinggal itu semakin kental berkat gaya neo-noir yang diangkat. Adegan demi adegan itu 'diwarnai' dengan nuansa yang gelap serta muram.

Anggi Noen juga cukup cermat dalam memilih elemen futuristik yang ditampilkan. Ia tak muluk-muluk menunjukkan teknologi canggih, seolah merawat agar latar itu tetap dekat dengan penonton lokal.

Scoringdan pilihan musik untuk soundtrack film juga semakin mempertegas warna 24 Jam Bersama Gaspar. Sebab, film ini terbilang banyak memanfaatkan soundtrack untuk ikut berperan dalam cerita.

Lagu-lagu FSTVLST hingga Mustache And Beard harus diakui memang pas menjadi soundtrackperjalanan Gaspar. Walau begitu, ada satu lagu yang terasa aneh karena tidak nyambung dengan nuansa distopia yang dibangun.

Eksekusi visual dan scoringyang mengesankan itu menjadi nilai plus untuk 24 Jam Bersama Gaspar. Anggi Noen juga kembali membuktikan kapasitasnya dalam menerjemahkan imajinasi secara kreatif.

Lihat Juga :
Mengenal 9 Karakter dan Pemeran Film 24 Jam Bersama Gaspar

Namun, keunggulan itu rasanya belum sanggup menebus penulisan cerita yang tidak berdaya. Modal cerita apik dari novel Sabda Armandio itu gagal diadaptasi menjadi skenario yang, setidaknya, sama kuatnya.

Eksplorasi Irfan Ramli dalam menggambarkan latar hingga suasana 24 Jam Bersama Gaspar sesungguhnya cukup meyakinkan. Namun, alih wahana memang bukan perkara mudah dan masih menjadi momok bagi banyak penulis naskah di Indonesia.

Hal itu juga terlihat dalam 24 Jam Bersama Gaspar. Plot film itu melaju dengan tergesa-gesa dan luput membangun fondasi yang kuat sejak awal cerita.

Lanjut ke sebelah...

Hasilnya terbukti dari motif Gaspar merampok toko emas Wan Ali (Iswadi Pratama) yang tidak kuat walau sudah disinggung sepanjang cerita.

Selipan adegan flashbackyang beberapa kali muncul juga tidak berkesan dan terasa hambar. Padahal, adegan-adegan itu merupakan kunci untuk membangun emosi dan memperjelas motif Gaspar.

Lihat Juga :
Daftar Lengkap Pemenang Piala Citra FFI 2023

Kegagalan membangun akar cerita yang kuat rasanya menjadi penyebab utama saya sulit merasa terhubung dengan perjalanan Gaspar. Alasan itu pula yang membuat saya semakin hilang rasa tertarik pada setiap menitnya, hingga akhir cerita.

Bahkan, saat 24 jam hidup Gaspar itu segera berakhir, saya tidak merasakan kegentingan atau tensi tinggi yang membuat si karakter utama rela mempertaruhkan segalanya.

Eksekusi cerita yang mengecewakan itu juga terlihat jika mencermati karakter lainnya. Melihat karakter lain membuat saya percaya bahwa penulis dan sutradara hanya memberi perhatian penuh kepada Gaspar.

Deretan karakter pendukung yang muncul tak mendapat perlakuan yang layak, baik dalam urusan latar belakang tokoh, motif, maupun perkembangan karakter sepanjang cerita.

Film 24 Jam Bersama Gaspar (2024)Review 24 Jam Bersama Gaspar: Penampilan Reza Rahadian, Shenina Cinnamon, hingga Laura Basuki juga rasanya tak mampu menutupi interaksi yang kikuk. (dok. Netflix)

Mereka bak hanya menjadi kru pelengkap agar misi terakhir Gaspar berjalan mulus. Bahkan, karakter Wan Ali yang digambarkan sebagai si penjahat tidak mendapat cukup adegan untuk menunjukkan kebengisannya.

Pilihan Redaksi
  • Review Film: Eksil
  • Review Film: Agak Laen
  • Review Serial: Mr. & Mrs. Smith (2024)
  • Review Film: Madame Web
  • Review Film: Women from Rote Island

Chemistryyang terbangun di antara kru misi perampokan itu juga kurang kuat. Saya sempat menduga kurangnya chemistryitu karena para karakter memakai dialog dengan bahasa baku.

Namun, jika dipikir-pikir, bahasa baku itu bukan penyebab utama. Kekurangan itu terjadi karena interaksi yang terbangun terlalu kaku sehingga tidak dapat menghasilkan makna dan emosi.

Penampilan Reza Rahadian, Shenina Cinnamon, hingga Laura Basuki juga rasanya tak mampu menutupi interaksi yang kikuk. Mereka memang berusaha tampil sebaik mungkin, tetapi seolah hanya berdiri sendiri dan tak berpadu dengan baik.

Sederet catatan miring itu sangat disayangkan karena 24 Jam Bersama Gaspar memiliki peluang menjadi karya adaptasi ikonis. Rasanya sulit juga memberikan pembelaan jika banyak pembaca novel asli yang kecewa dengan hasil ini.

Namun, paling tidak, 24 Jam Bersama Gaspar menyuguhkan visualisasi dunia distopia dan sentuhan neo-noir yang jarang ditemukan di film-film Indonesia.

[Gambas:Youtube]